Selasa, 20 Januari 2009

Peran PKK dalam Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan

Oleh: Si Amin

Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan masih sering dianggap sebagai kasus individu yng tidak perlu intervensi pihak lain. Padahal, kenyataannya tidaklah demikian. Banyak perempuan korban kekerasan yang tidak mampu keluar dari persoalannya dan membutuhkn bantuan pihak lain. Namun, keinginan untuk mendpatkan bantuan ini pun kerap menemui jalan buntu, karena selama ini masyarakat memandang bahwa masalah rumah tangga adalah masalah pribadi yang tidak boleh diketahui orang lain.


Sebuah penelitian di pedesaan Purworejo (Jawa Tengah), menemukan bahwa 41% perempuan yang diwawancarai mengaku pernah menjadi korban kekerasan fisik sejak usia 15 tahun. Kemudian satu dari empat perempuan ditemukan mempunyai pengalaman kekerasan fisik atau seksual dari suami dalam suatu waktu di dalam hidupnya (Hakimi, dkk, 2001). Hal ini menyiratkan bahwa perempuan rentan menjadi korban kekerasan, baik ketika mereka belum menikah maupun setelah menikah. Kekerasan yang mungkin terjadi ketika seorang perempuan belum menikah alah kekerasan oleh pacar, perkosan, pelecehan seksual, atau kekerasan dalam keluarga. Setelah masuk ke jenjang pernikahan, ternyata perempuan juga rentan menjadi korban kekerasan oleh suami. Dengan masih banyaknya anggota masyarakat yang meyakini bahwa masalah kekerasan terhaap perempuan adalah masalah pribadi, dapat diasumsikan bahwa data tersebut hanyalah sebagian kecil dari kasus yang terjadi di masyarakat.

Penanganan perempuan korban kekerasan menjadi hal yang mendesak dilakukan, karena ternyata berdampak serius bagi korban, baik fisik, emosional, ekonomi, maupun seksual. Bahkan dalam kasus kekerasan terhadap isteri, sering bukan hanya isteri yang menjadi koban, melainkan juga anak-anaknya (efek karambol). Selain secara fisik maupun emosional anak turut menjadi korban dari kasus kekerasan terhadap isteri, hal lain yang perlu mendapat perhatian serius adalah role model (peniruan perilaku kekerasan yang dilakukan ayah terhadap ibu oleh anak). Sehingga sangat mungkin ketika dewasa, si anak yang dibesarkan dalam lingkungan kekerasan akan menjadi pelaku kekerasan pula.

Lalu, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap tindak-tindak kekerasan terhadap perempuan tersebut? Mengacu pada deklarasi komitmen negara dan masyarakat untuk penghapusan kekerasn terhadap perempuan yang diluncurkan tanggal 24 November 1999 --yang kemudian menelorkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RAN-PKTP)-- jelas tanggung jawab itu ada di pundak pemerintah maupun masyarakat. Negara sebagai sebuah institusi wajib melindungi rakyatnya dari segala tindak ketidakadilan dan mengupayakan terciptanya keadilan tersebut dengan segala cara. Sementara masyarakat sebagai bagian dari institusi juga berkewajiban menjaga keadilan serta mewujudkannya bagi semua pihak. Lalu, organisasi masyarakat, sebagai bagian dari masyarakat tentu tak luput dari kewajiban tersebut.

Berkaitan dengan hal itu, PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) tampaknya mempunyai peran strategis, terutama dalam penanganan perempuan korban kekerasan. Seperti telah disinggung tadi, banyak tindak kekerasan terhadap perempuan yang tidak terungkap karena berbagai sebab. PKK sebagai sebuah organisasi yang sangat luas keanggotaannya dengan mayoritas anggota perempuan, mesti memiliki peran penting dalam upaya penanganan masalah kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan terhadap isteri. Keanggotaan PKK hingga ke masyarakat dalam kelompok kecil (dasa wisma) memungkinkan mereka untuk mengidentifikasi korban-korban kekerasan yang sebenarnya membutuhkan intervensi pihak lain.

Persoalan yang kemudian muncul adalah, sering ditemui perempuan korban kekerasan, namun si korban sendiri tidak mengakui kekerasan yang dialami, sehingga tidak ada alasan bagi pihak luar untuk melakukan intvensi. Dalam hal ini, sosialisasi isu memang menjadi ujung tombak bagi terungkapnya kasus-kasus kekersan yang terjadi di masyarkat. Upaya memahamkan masyarakat bahwa kekerasan merupkan pelanggaran HAM dan bukan masalah pribadi perlu dilakukan secara terus-menerus, sehingga pada akhirnya menggantikan budaya diam yang selama ini dianut oleh masyarakat.

Merujuk pada salah satu pengertian bahwa PKK adalah mitra kerja pemerintah dan organisasi kemasyarakatan yang salah satunya berfungsi sebagai fasilitator (TP PKK Pusat, 2001) kiranya mereka tidak akan menutup kerja sama dengan siapa pun. Dan LSM-LSM perempuan yang mempunyai personal-personal muda dengan mobilitas tinggi dan wawasan serta pengetahuan luas, sudah saatnya melirik PKK sebagai mitra. Memang pada masa lalu ada kesan bahwa LSM perempuan dan PKK berseberangan. Aktivitas PKK cenderung mengukuhkan posisi perempuan yang tersubordinasi oleh laki-laki, sedangkan LSM perempuan berjuang merombak budaya tersebut. Namun, dengan dicantumkannya kata “kesetaraan dan keadilan gender” dalam visi PKK, tak ada lagi alasan bagi LSM perempuan untuk tidak mau bekerjasama dengan mereka.

Tinggallah sekarang satu persoalan lagi yang muncul. Keterlibatan aktif PKK dalam upaya penanganan kekerasan terhadap perempuan mau tidak mau menambah beban kerja mereka. Kalau selama ini kita ketahui bahwa PKK menjadi tenaga sukarela bagi banyak program pemerintah, akankah beban itu masih akan ditambah pula? Inilah yang perlu dipikirkan. Tampaknya, baik pemerintah maupun Tim Penggerak PKK sendiri perlu melihat kembali, akan tetap menjadi relawankah para aktivis PKK ini, atau menjadi professional yang mendapat imbalan finansial berdasar keahliannya? Barangkali terobosan yang dilakukan beberapa tim penggerak PKK yang mencari sumber dana ke lembaga-lembaga dana dapat juga dilakukan oleh tim penggerak PKK lainnya. Dengan demikian mereka tidak terlalu menggantungkan dana lagi dari pemerintah yang, misalnya, sering tidak mengalokasikan uang transport secara memadai bagi para pelaksana program PKK.[]

[+/-] terus...

Senin, 19 Januari 2009

Ke Saudi ketika Tak Ada Pilihan Lagi

Kawasan pegunungan kapur selalu memunculkan imaji yang sama pada setiap orang: tandus dan miskin. Keterbatasan air menjadikan pertanian di kawasan ini tak terlalu menjanjikan. Sementara sektor di luar pertanian, juga kurang berkembang. Gambaran serupa dapat kita jumpai di Desa Plosorejo. Sebuah desa berpenduduk kurang lebih dua ribu jiwa, yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah.

Keterbatasan air, baik air bersih maupun air untuk pertanian, merupakan masalah terbesar di desa ini. Setiap memasuki musim kemarau, warga desa harus bersusah-payah mencukupi kebutuhan air dari sumur yang cukup jauh letaknya. Bahkan pada puncak kemarau, tinggal sebuah sumur saja di desa tersebut yang masih mengeluarkan air. Sehingga seluruh warga desa harus mengantri untuk mendapatkan air dari satu sumur ini. Tak heran jika pada puncak kemarau, pekarangan dimana sumur ini berada tak pernah sepi. Selama 24 jam, secara bergiliran air sumur terus ditimba untuk mencukupi kebutuhan warga.

Dalam hal pertanian, warga Plosorejo sepenuhnya mengandalkan turunnya hujan. Tak ada saluran irigasi di sini. Kondisi tersebut menjadikan petani hanya dapat menanam padi dua kali dalam setahun. Belakangan, akibat pergeseran musim yang tidak menentu, para petani hanya dapat bertanam padi sekali dalam setahun. Hanya sebagian petani saja, terutama yang memiliki lahan di tepi sungai, yang masih dapat menaman padi dua kali dalam setahun.

Selepas bertanam padi, para petani di sini biasanya memilih untuk bertanam jagung. Beberapa petani muda mulai keluar dari kebiasaan itu dengan mencoba menanam semangka, cabai, terong, dan wijen. Namun, keterbatasan air lagi-lagi menjadi kendala. Jika petani yang memiliki cukup modal dapat mendatangkan pasokan air dari daerah lain, petani dengan modal pas-pasan, memilih menelantarkan lahannya hingga turunnya hujan.

Sulitnya kehidupan serta rendahnya kesejahteraan, menjadikan banyak warga Plosorejo memilih mengadu peruntungan jauh di luar desanya. Pada awal tahun 1980-an, beberapa pemuda memulai tradisi baru, mencari penghidupan di tempat lain. Saat itu kawasan perkebunan di Kalimantan menjadi tujuan.
Belakangan, menjelang tahun 1990-an, semakin banyak pemuda yang mencari hidup di kota, sebagai buruh pabrik maupun buruh bangunan. Surabaya dan Jakarta menjadi tujuan utama mereka. Sementara remaja perempuannya, dengan pendidikan yang relatif rendah, banyak yang menjadi pekerja rumah tangga di kota tujuan yang sama.

Arab
Gelombang pekerja migran baru dimulai pada tahun 1990 di desa ini. Arab Saudi merupakan negara tujuan yang banyak dipilih oleh warga Plosorejo. Alasannya, dengan menjadi pekerja migran di sana mereka dapat sekaligus menunaikan ibadah haji.

Bagi Jumilah, warga Plosorejo yang pernah menjadi buruh migran di Arab Saudi, hal itu menjadi kebanggaan tersendiri. Ia menceritakan bahwa selama dua tahun di Arab Saudi, telah dua kali menunaikan ibadah haji. Demikian ia bercerita sambil menunjuk dua lembar sertifikat haji berpigura rapi, terpampang di dinding ruang tamunya.

Sekitar tahun 2000-an, jumlah warga Plosorejo yang mengadu nasib ke luar negeri semakin meningkat seiring gencarnya aktivitas sponsor PJTKI di desa ini. Saat ini tak kurang dari 60 warga Plosorejo menjadi buruh migran. Sebagian besar di antaranya perempuan dan menjadikan Arab Saudi sebagai tujuan.

Belakangan negara-negara di kawasan Asia Timur, seperti Korea dan Taiwan juga mulai dilirik. Setidaknya ada sepuluh warga yang saat ini menjadi buruh migran di sana.

Mengenai kondisi warga yang pernah menjadi buruh di luar negeri, Shodiq, kepala desa Desa Plosorejo memiliki pendapat tersendiri. Menurutnya, semua pekerja migran Plosorejo berhasil. Artinya, semua mendapatkan bayaran dari hasil kerjanya.

Lebih jauh ia berkomentar, bahwa ukuran keberhasilan tidak harus dilihat dalam bentuk pendirian usaha. Kemampuan untuk membeli sawah, motor, rumah, maupun sapi merupakan wujud keberhasilan juga.

Pandangan kepala desa tersebut, tentu sedikit banyak akan berpengaruh terhadap warganya. Dengan ukuran keberhasilan adalah mendapat bayaran, tampaknya semua buruh migran di desa ini akan dicatat sebagai buruh yang berhasil. Tak peduli bayaran yang mereka terima sepadan atau tidak dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Atau apakah para pekerja tersebut menjadi sasaran pungutan agen atau tidak, tampaknya bagi desa tak penting benar.[am]

[+/-] terus...

Pupuk Sulit, Harga Selangit

Sejak September lalu, pupuk kimia bersubsidi sulit didapatkan, terutama di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Bahkan, di Jawa Timur, kelangkaan pupuk kali ini adalah yang terparah dalam lima tahun terakhir. Menurut Wakil Sekjen Himpunan Kerukunan Tani, Jum Perkasa, kelangkaan dipicu oleh tidak sebandingnya pemintaan dengan jumlah alokasi pupuk bersubsidi. Tahun 2008 ini pemerintah mengalokasikan pupuk bersubsidi sebesar 4,5 ton, sementara kebutuhan pupuk petani mencapai 6 juta ton.

Data dari Subdin Penyusunan Program Dinas Petanian Jatim menunjukkan bahwa memang terdapat selisih antara kebutuhan pupuk petani dengan alokasi pemerintah. Jenis pupuk urea, dari total kebutuhan 1.363.184 ton. jumlah yang dialokasikan hanya 1.090.000 ton. Dengan demikian, kekurangan pupuk jenis urea saja di wilayah Jawa Timur mencapai 273.184 ton.

Berkaitan dengan kelangkaan pupuk bersubsidi, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah mengajukan tambahan alokasi pada akhir tahun ini kepada Pemerintah Pusat. Harapannya permintaan tambahan alokasi tersebut disetujui, sehingga keberlangsungan masa tanam tidak terganggu.

Meski pupuk kimia saat ini langka di pasaran, permintaan pupuk organik ternyata tidak mengalami pengingkatan secara signifikan. Musyafa’, seorang penyalur resmi pupuk bersubsidi di Desa Plosorejo, Banjarejo, Blora mengungkapkan bahwa pupuk organik tidak diminati karena berdampak pada penurunan produksi.

Pernyataan Musyafa’ ini dibenarkan oleh Kindarto, salah seorang petani Desa Ngawen, Sukolilo, Pati, yang sejak beberapa waktu lalu mulai beralih ke pertanian organik. ’’Awalnya memang produksi bisa turun sampai 25%. Tapi setelah tiga kali masa tanam sudah kembali,’’ jelasnya. Menurutnya, pengenalan kembali pupuk organik di Desa Ngawen tidak mengalami masalah berarti. Sebab masyarakat setempat sangat menjunjung tinggi kelestarian lingkungan.

Menanggapi terjadinya kelangkaan pupuk ini, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengungkapkan bahwa pemerintah sudah mengeluarkan cadangan pupuk sebanyak 300 ribu ton. Dengan demikian kelangkaan pupuk dapat diatasi dan tidak menganggu target pemerintah di sektor pertanian.

Namun, kenyataan di lapangan berbicara sebaliknya. Pupuk masih tetap sulit dijumpai. Kalaupun ada, petani harus rela membayar jauh lebih tinggi dari harga resmi. Kondisi ini semakin mengukuhkan ketidakkonsistenan pemerintah dengan programnya. Salah satunya program Revolusi Hijau yang mulai dicanangkan mejelang tahun 1980-an, yang menggeser pola pertanian tradisional ke pertanian modern. Termasuk di antaranya mengganti pupuk organik dengan pupuk kimia.[am]--FOTO: Padi kekurangan pupuk

[+/-] terus...

Memasuki Musim Bencana: Lingkungan Rusak, Alam pun Murka

Tewasnya 14 orang warga Kampung Nyalindung, Desa Girimurti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat akibat tanah longsor, mengawali berita tentang bencana alam yang menelan korban jiwa pada awal musim penghujan kali ini (2008). Selain tanah longsor, bencana banjir juga mulai melanda beberapa kawasan di Indonesia, tak terkecuali Jakarta.

Datangnya musim penghujan di Indonesia dapat dipastikan selalu disertai dengan datangnya bencana alam seperti tanah longsor, banjir, dan angin puting beliung yang memang berkaitan langsung curah hujan. Menurut data Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari total 33 provinsi di Indonesia 27 diantaranya rawan bencana. Banjir dan tanah longsor sepanjang musim penghujan lalu (tahun 2008) yang terjadi di 27 provinsi tercatat menelan korban meninggal 92 orang, 9.740 rumah rusak dan 184.203 rumah terendam banjir.

Hingga pertengahan November 2008 ini banjir tercatat sudah melanda kawasan di wilayah Tulungagung, Nanggroe Aceh Darussalam, Lumajang, juga kota-kota di pantai utara Pulau Jawa seperti Semarang, Pati, dan tentu saja Jakarta.

Meskipun menjadi penyebab bencana banjir di beberapa kota, namun intensitas hujan di wilayah Indonesia belum merata. Dari data yang dikeluarkan oleh BMKG, hujan akan merata terjadi di Sumatera Selatan, seluruh wilayah Pulau Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara Barat pada bulan Desember 2008. Sedangkan musim penghujan akan mencapai puncaknya di Pulau Jawa pada bulan Januari-Februari 2009.

Belum meratanya intensitas hujan ini dapat dilihat dari masih rendahnya curah hujan di beberapa wilayah, seperti di Blora (Jawa Tengah), Gunungkidul (Daerah Istimewa Yogyakarta), maupun kawasan lereng Gunung Kelud (Kediri, Jawa Timur). Hingga pertengahan bulan Oktober 2008, warga lereng Gunung Kelud, khususnya Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri masih kesulitan mendapatkan air bersih. Sumber air utama di kaki Gunung Kelud yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) daerah itu tidak mencukupi kebutuhan warga di empat desa dalam wilayah kecamatan Ngancar. Akibatnya, meskipun telah berlangganan air dari PDAM, sebagian warga tetap harus mengambil air dari sumber yang terletak di luar desa.

Menurut Ahmad Abdul Hadi Rasyid, tokoh masyarakat Desa Sempu, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, sebelum tahun 2000 warga dapat dengan cukup mudah mendapatkan air bersih. Sumber air bersih dapat ditemui hampir di setiap pedukuhan atau satuan pemukiman di desa tersebut.

Namun seperti halnya yang terjadi di tempat-tempat lain, bergulirnya reformasi tahun 1998 justru menyebabkan kualitas lingkungan di kawasan Kelud mulai menurun. Hal ini disebabkan laju penggundulan hutan mengalami peningkatan, sehingga mengancam sumber air bersih di kaki gunung. Penggundulan hutan di kawasan tersebut mencapai puncaknya pada tahun 2003. Bahkan pada tahun 2004 gundulnya hutan ini pernah menyebabkan banjir yang mendatangkan kerugian cukup besar bagi desa-desa yang terletak di bawah Desa Sempu, seperti Desa Pandantoyo.

Bukan saja banjir yang menjadi ancaman bagi masyarakat di lereng Gunung Kelud ini. Penambangan batu di areal bekas penebangan liar memunculkan ancaman baru, yaitu tanah longsor. Meski dalam skala kecil, tanah longsor di kawasan ini pernah juga terjadi dan menyebabkan putusnya aliran air bersih dari PDAM akibat pipa saluran air bersih terputus akibat tertimbun longsoran.

Saat ini laju penggundulan hutan dapat dikatakan sudah sangat menurun, tetapi areal bekas penebangan liar seluas kurang lebih 300 hektare di wilayah Desa Sempu dan Sugihwaras ini masih dibiarkan gundul. Berkurangnya jumlah tegakan secara signifikan ini berdampak cukup besar bagi pasokan air bersih bagi warga yang tinggal di desa-desa di kaki Kelud. Selain mematikan banyak sumber air, penggundulan hutan tersebut juga menyebabkan menurunnya kualitas air bersih yang dialirkan PDAM ke rumah-rumah warga. Bukan saja tidak mencukupi, saat ini warga terpaksa harus menerima pasokan air PDAM yang keruh karena tercampur pasir. Hal ini disebabkan sumber air yang dijadikan andalan oleh PDAM mengalami pendangkalan dan penurunan debit.

Kecenderungan semacam ini tidak hanya terjadi di kawasan Gunung Kelud Kediri saja. Kawasan lain, terutama yang terletak tepat di bawah daerah tangkapan air atau justru merupakan daerah resapan air, juga mengalami masalah serupa. Meski tidak ada data pasti mengenai sumber-sumber air yang mati akibat penebangan, baik penebangan tanaman keras milik warga, penebangan terprogram di hutan produksi, maupun penebangan liar di kawasan konservasi, namun kasus di atas dengan mudah dapat ditemui.

Kawasan lereng Gunung Merapi, baik yang merupakan wilayah Kabupaten Sleman (DI Yogyakarta), Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Magelang (ketiganya di wilayah Jawa Tengah) tidak luput dari ancaman kematian sumber air bersih. Kawasan pegunungan di Kabupaten Trenggalek juga Kota Batu (keduanya di Jawa Timur) juga mengalami hal serupa. Sayangnya meski berkurangnya jumlah sumber air tersebut sudah cukup mempengaruhi kehidupan warga sekitar, namun hingga saat ini belum ada pendataan secara khusus mengenai hal tersebut.

Walau demikian data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyumas (Jawa Tengah) yang menyebutkan bahwa dari 3.000 sumber air yang ada pada tahun 2001 dan tahun ini tinggal sekitar 900 sumber air di daerah tersebut, cukuplah menjadi gambaran. Data ini menunjukkan bahwa sejak tahun 2001, rata-rata 300 sumber air mati setiap tahunnya. Kondisi ini jelas sangat mengkhawatirkan. Tanpa adanya upaya terencana dari pihak pemerintah dan keikutsertaan masyarakat upaya perbaikan tidak dapat dilakukan.

Seperti halnya yang terjadi di wilayah Kediri maupun Trenggalek, tekanan kebutuhan hidup dan pertambahan penduduk menjadikan upaya pengembalian fungsi hutan sebagai daerah konservasi dan bukan sebagai hutan produksi, menjadi sulit dilakukan. Hal ini jugalah yang terjadi di lereng Gunung Kelud. Hutan yang telah gundul akibat penebangan seluas 300 hektare, ke depannya tidak akan lagi dikembalikan fungsinya menjadi kawasan konservasi. Perhutani bekerja sama dengan organisasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) akan memanfaatkan lahan tersebut sebagai hutan produksi.

Program kerja sama tersebut memang berdampak signifikan terhadap peningkatan kondisi ekonomi masyarakat anggota LMDH, dimana anggota memiliki hak guna atas tanah yang berada dalam wilayah Perhutani. Dengan demikian warga tidak saja memiliki tanggung jawab untuk merawat tanaman milik Perhutani, namun juga mendapatkan bagi hasil dari penjualan tanaman dan pemanfaatan lahan secara tumpang sari.

Akan tetapi, perubahan kawasan konservasi menjadi kawasan produksi tentu menimbulkan konsekuensi tersendiri. Dalam kasus lereng Kelud, tanaman produksi berupa sengon akan dipanen setelah mencapai umur delapan tahun. Itu artinya setiap delapan tahun sekali masyarakat di sana akan kembali menghadapi ancaman banjir, tanah longsor, maupun kematian sumber air. Terlebih terdapat jarak antara masa tebang dan masa tanam yang cukup panjang.

Masalah tidak berhenti sampai di situ saja. Meski saat ini peningkatan kesadaran orang akan dampak penggundulan hutan mulai terbaca, namun sulitnya kondisi ekonomi sering kali memaksa orang melakukan sesuatu yang berkebalikan dengan kesadarannya. Langkanya minyak tanah serta tingginya harga komoditas tersebut di pasaran, menjadikan hutan kembali terancam. Bukan saja menjadi bahan bangunan, melainkan juga pemenuhan kebutuhan bahan bakar.[am]

[+/-] terus...

Minyak Tanah Tak Ada, Elpiji pun Langka

Sejak program konversi minyak ke gas sudah sekian kali terjadi krisis bahan bakar. Kompor minyak telanjur diloakkan, sementara gas menjadi langka. Kalau ada yang masih punya kompor, minyak pun sudah tak ada. Minyak tanah tak ada, gas elpiji langka. Duh. Yang namanya rakyat kecil, selagi cari yang mau dimasak saja susahnya bukan main. E, begitu dapat, mau memasaknya harus berhadapan pula dengan kelangkaan bahan bakar. Emang gak perlu susah jika bisa bilang, ’’Makan di restoran saja!’’

Ingar-bingar penyambutan tahun baru mulai terasa di berbagai penjuru kota di Indonesia. Berbagai acara telah disiapkan untuk menutup tahun 2008 dan menyambut kedatangan tahun 2009. Namun, di balik kemeriahan itu, keprihatinan tetap menggelayut di pundak berjuta rakyat Indonesia. Harga kebutuhan pokok yang terus membubung, kelangkaan pupuk, krisis keuangan global, serta mahalnya minyak tanah menjadikan beban hidup rakyat Indonesia semakin bertambah.

Meski program konversi minyak tanah ke gas elpiji belum terlaksana di semua wilayah Indonesia, kelangkaan minyak tanah telah terjadi di mana-mana. Program ini telah dimulai sejak pertengahan 2006 dengan target awal masyarakat pengguna minyak tanah di DKI Jakarta. Setelah hampir dua tahun, pendistribusian kompor gas dan tabung elpiji kepada masyarakat di DKI Jakarta selesai. Maka terhitung sejak bulan Mei 2008, minyak tanah bersubsidi tidak lagi beredar di wilayah DKI Jakarta.

Menyusul DKI Jakarta, penghentian pasokan minyak tanah bersubsidi juga terjadi di kota-kota lain di Pulau Jawa. Sejak bulan Oktober 2008, minyak tanah bersubsidi tidak lagi beredar di wilayah Kota Semarang, Kabupaten Semarang, dan Kota Salatiga. Sedangkan di wilayah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, minyak tanah bersubsidi masih beredar hingga awal November 2008.

Seperti halnya di Jakarta, distribusi kompor dan tabung elpiji di wilayah-wilayah ini juga dianggap telah selesai, sehingga Pertamina menghentikan pasokan minyak tanah bersubsidi untuk kota-kota tersebut. Namun penghentikan pasokan ini, tidak seketika disusul dengan dipasoknya minyak tanah non-subsidi. Akibatnya selama hampir sebulan, terjadi kelangkaan minyak tanah di berbagai kota. Menurut Humas Pertamina Regional Jawa Tengah dan DIY hal ini dilakukan karena anggapan bahwa minyak tanah bersubsidi masih beredar di masyarakat.

Saat ini program konversi minyak tanah ke gas elpiji sedang dan masih akan berjalan di berbagai kota di Indonesia lainnya. Menurut Dirjen Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Evita Legowo, konversi minyak tanah ke elpiji pada tahun 2008 ini mencapai 40 juta tabung. Dengan program konversi ini diharapkan pada tahun 2010 nanti, penggunaan minyak tanah oleh masyarakat berkurang dari 9,8 juta kiloliter pada tahun 2007 menjadi hanya 100 ribu kiloliter.

Harga dan Warna
Menurut salah seorang pegawai agen minyak tanah dan gas elpiji di Kota Yogyakarta, PT Wina Wira Usaha Jaya, selisih harga minyak tanah subsidi dengan non-subsidi cukup tinggi. Jika sebelumnya minyak tanah bersubsidi bisa didapat dengan harga Rp 4.000, kini dengan penghapusan subsidi, harga minyak di tingkat agen menjadi dua kali lipat.

’’Yang sekarang warnanya biru-ungu. Harganya dari sini Rp 8.000,’’ jelasnya mengenai wujud fisik minyak non-subsidi yang berbeda dengan minyak subsidi.

Tingginya harga menjadikan pasaran minyak tanah lesu. Banyak pengecer minyak yang beralih ke elpiji tiga kilogram karena lebih laku. Harun, salah seorang pengecer elpiji di kawasan Yogyakarta barat menuturkan dalam sehari sepuluh hingga lima belas tabung elpiji bisa terjual. Masalahnya persediaan agen terbatas, sehingga kadang ia harus mencari elpiji hingga ke beberapa agen untuk memenuhi permintaan.

Pihak PT Wina sendiri mengakui bahwa tak jarang stok elpiji tiga kilogram tidak tersedia. Terlambatnya distribusi dari kilang ke Pertamina menjadi penyebab kurangnya stok. Bahkan beberapa kali PT Wina terpaksa mendatangnya elpiji dari agen di kota lain.

Menanggapi kelangkaan elpiji ini, Manajer Pemasaran Gas Domestik PT Pertamina Region III Jawa Tengah dan Yogyakarta mengungkapkan buruknya cuaca menjadi penghambat kelancaran distribusi elpiji. Selain itu perbaikan secara berkala pusat pengisian gas domestik turut berpengaruh terhadap tersendatnya distribusi.

Saat ini meski setiap hari tampak aktivitas bongkar muat gas elpiji tiga kilogram, tetapi jumlah permintaan tetap lebih tinggi dari persediaan. Akibatnya kuota pembelian diterapkan. Rata-rata setiap pengecer hanya mendapatkan jatah sepuluh tabung saja.

Arang
Selain elpiji, bahan bakar lain yang juga mengalami peningkatan permintaan adalah arang. Mulyani, salah seorang pedagang arang dari Mloko Sedeng, Pacitan, menuturkan bahwa naiknya harga minyak tanah turut menaikkan harga jual arang dagangannya. Sebelum konversi minyak tanah diterapkan, harga jual arang Rp1000,00/kilogram. Saat ini ia menjual dengan harga Rp1.300/kilogram.

Pedagang yang sudah mulai usahanya sejak tahun 1973 ini secara rutin memasok arang ke beberapa pasar di Surabaya, Madiun, dan Yogyakarta. ’’Ke Surabaya sebulan sekali 246 sak. Ke Madiun seminggu sekali 70 sak. Ke Yogya seminggu tiga kali 70 sak,’’ paparnya. Setiap sak berisi 60 kilogram arang. Arang tersebut merupakan produksi warga yang tinggal di wilayah Mloko Sedeng, Pacitan dan sekitarnya.

Meski permintaan bahan bakar arang meningkat, hingga saat ini Mulyani tidak menambah kapasitas dagangannya. Hal ini disebabkan kemampuan produksi arang di wilayahnya juga tidak mengalami peningkatan. Perkara lainnya, semakin banyak arang diproduksi, ancaman terhadap hutan pun makin tinggi.

Reaksi Pengguna
Beragam reaksi masyarakat terkait dengan konversi minyak tanah dapat ditemui di tingkat penggunanya, terutama para pedagang yang selama ini mengandalkan minyak tanah sebagai bahan bakar. Ny. Padmo seorang penjual makanan di Yogyakarta mengaku kerepotan dengan tingginya harga minyak tanah. Terlebih, ia tidak dapat menaikkan harga jual makanannya karena jika cara itu ditempuh, pelanggan akan beralih pada penjual lain.

Sementara untuk beralih ke bahan bakar lain, ia masih kesulitan. Tabung elpiji serta kompor gas yang didapat dari program konversi minyak tanah terlalu kecil kapasitasnya, tidak sesuai dengan kebutuhan.

Berbeda dengan Ny. Padmo, seorang penjual mie goreng keliling, Ghafur, mampu menyikapi kelangkaan minyak tanah ini dengan kreativitasnya. Seiring dengan program konversi, pemuda Madura ini pun mengganti minyak tanah dengan elpiji sejak beberapa waktu lalu. Dengan regulator khusus, Ghafur dapat menyalakan lampu petromaks dan menyiapkan makanan untuk pembeli tanpa minyak tanah lagi.

Bahkan, menurutnya biaya produksi yang harus dikeluarkan lebih ringan karena satu tabung elpiji seharga Rp14.000 dapat digunakannya selama dua hari. Sedangkan dengan minyak tanah, kebutuhannya per hari tak kurang dari tiga liter.

Saat ini baru sebagian kecil kota di Indonesia, terutama di Pulau Jawa yang telah menyelesaikan pendistribusian kompor gas dan tabung elpiji. Gejolak yang muncul di masyarakat tampaknya akan lebih luas lagi. Bukan saja karena kurangnya kesiapan masyarakat beralih dari minyak tanah ke elpiji, melainkan karena kesiapan pemerintah dan Pertamina dalam memenuhi kebutuhan elpiji belum memadai. Sudah minyak tanah tak ada, elpiji pun langka. [am]

[+/-] terus...

Pendidikan Seksual bagi Calon Buruh Migran

Secara umum, Daerah Istimewa Jogjakarta bukan merupakan daerah kantong buruh migran. Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa sejumlah warga daerah ini terpaksa mengadu nasib ke negeri orang karena di negerinya sendiri tak terdapat banyak pilihan. Kabupaten Kulon Progo merupakan wilayah di DI Yogyakarta dengan jumlah migran terbesar. Data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kulonprogo menunjukkan jumlah buruh migran dari daerah tersebut pada tahun 2005 sebanyak 1.590 orang.

Sangat mungkin jumlah yang sebenarnya lebih besar dari itu karena pendataan hanya dilakukan terhadap tenaga kerja yang terdaftar pada Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di wilayah Kulon Progo. Menurut Swasti Sempulur, Koordinator Program Buruh Migran Yayasan Kembang Yogyakarta, banyak calon tenaga kerja dari Kulon Progo yang memanfaatkan jasa PJTKI di daerah lain, terutama kantong-kantong buruh migran, karena di daerah tersebut tersedia lebih banyak pilihan.

Seperti halnya di daerah lain, sebagian besar buruh migran dari kabupaten ini berasal dari daerah tandus yang miskin. Tercatat ada empat kecamatan yang merupakan daerah asal para buruh migran ini, yaitu Kokap, Samigaluh (keduanya di kawasan Perbukitan Menoreh), Galur, dan Panjatan (keduanya merupakan wilayah Pesisir Selatan).

Memilih Malaysia
Sebagian besar buruh migran yang berasal dari Kulon Progo ini menjadikan Malaysia sebagai negara tujuan mereka. Setidaknya ada dua alasan mengapa mereka memilih Malaysia sebagai negara tujuan. Pertama, karena secara budaya tidak terlalu jauh berbeda dengan Indonesia, dan kedua karena dekat sehingga modal yang harus mereka keluarkan tidaklah besar.

Dari kajian yang dilakukan oleh Swasti dan teman-temannya dari Yayasan Kembang, ditemukan bahwa calon buruh migran baik laki-laki atau perempuan di Kulon Progo secara umum tidak memiliki pengetahuan tentang proses migrasi dan situasi kerja di luar negeri secara memadai. Atas kondisi demikian, Yayasan Kembang pun mengadakan pelatihan yang dimaksudkan sebagai pembekalan bagi calon buruh migran sebelum mereka sampai di negara tujuan.

Kesehatan Reproduksi
Temuan lain adalah kenyataan bahwa sebagian besar calon buruh migran berada dalam usia reproduktif secara seksual. Hal ini mendapat perhatian khusus dari Yayasan Kembang karena perilaku permisif di negara tujuan dapat memicu berbagai kasus yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Oleh karena itu selain memberikan pembekalan tentang proses keimigrasian dan situasi kerja di negara tujuan, calon buruh migran juga diberi pendidikan mengenai kesehatan reproduksi. Terlebih sebagian dari buruh migran tercatat berada dalam kondisi seksual aktif (telah menikah).

Dengan pembekalan semcam ini diharapkan nantinya para buruh migran tersebut paham akan resiko dari perilaku seksual mereka. Misalnya bagi yang berada dalam masa seksual aktif, akan paham bahwa ketika di negara tujuan melakukan hubungan seksual tanpa pertimbangan keamanan, sangat mungkin akan tertular penyakit sekusual. Demikian juga bagi buruh migran yang berada dalam usia reproduktif secara seksual, akan lebih tahu bagaimana mengelola hasrat seksual serta cara-cara penyalurannya secara aman.

Ternyata dalam perkembangannya, Yayasan Kembang menemukan bahwa pendidikan serupa tidak hanya dibutuhkan oleh para calon buruh migran. Keluarga yang ditinggalkan pun dirasa perlu mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi serupa. Sebab suami/isteri yang ditinggalkan secara umum memiliki kebutuhan seksual yang sama dengan pasangan yang meninggalkannya. Dengan demikian tanpa adanya pendidikan kesehatan yang memadai bagi keduanya, kemungkinan tertular penyakit seksual tetap ada.

Contoh Kasus
Swasti menceritakan pernah ada sebuah kasus cukup menarik yang berkaitan dengan kondisi kesehatan pasangan yang salah satu di antaranya pernah menjadi buruh migran ini. Hasil tes kesehatan mereka menyatakan bahwa keduanya terinfeksi penyakit menular seksual. Keributan terjadi karena mereka saling saling menuduh pasangannya sebagai pihak awalnya tertular penyakit tersebut akibat hubungan seksual dengan orang lain. Suami yang bertahan di kampung menuduh isterinyalah yang mendapatkan penyakit itu ketika masih menjadi buruh migran dan kemudian menularkan kepadanya. Sebaliknya si isteri menuduh suaminyalah yang mendapatkan panyakit tersebut dari hubungan seksual dengan orang lain ketika ia berada di luar negri.

Selain persoalan kesehatan reproduksi seperti, pengelolaan keuangan para buruh migran maupun keluarga yang ditinggalkan juga mendapat fokus tersendiri. Tak jarang seorang buruh migran pulang tanpa tahu apa yang akan dilakukan dengan uang hasil kerjanya. Akhirnya uang ini habis untuk konsumsi dan hal itu mendorongnya kembali lagi menjadi buruh migran.

Awalnya Yayasan Kembang memberikan pelatihan tentang pengelolaan keuangan ini pada buruh migran yang baru kembali dari luar negeri. Namun, mereka kemudian menemukan bahwa cara yang lebih efektif adalah dengan memberikan materi pendidikan tersebut kepada calon buruh migran. Dengan demikian, mereka dapat merencanakan pemanfaatan uang sebelum kembali ke tanah air, dan ketika kembali sudah ada rencana yang pasti. Harapannya, uang hasil kerja para buruh migran tersebut benar-benar menjadi modal bagi perbaikan kondisi kehidupan mereka di kampung asalnya.

Keterdesakan
Meski serangkaian pendidikan telah dilakukan, dalam kenyataannya Yayasan Kembang tidak menemukan perubahan perilaku baik pada calon maupun mantan buruh migran secara signifikan. Banyak di antara mereka yang tetap saja melakukan pemalsuan identitas seperti mengubah tahun lahir untuk memenuhi persyaratan pemberangkatan. Tidak jarang juga para buruh migran ini berangkat dengan identitas palsu karena menggunakan paspor orang lain. Pemalsuan identitas semacam ini terjadi karena pihak PJTKI biasanya tidak mengembalikan paspor calon buruh migran yang gagal berangkat. Paspor yang tidak terpakai ini kemudian dijadikan sebagai identitas baru bagi calon buruh yang siap berangkat.

Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa faktor keterdesakan ekonomi memang menjadikan buruh migran tersebut tidak memiliki pilihan lain. Dalam kasus penggunaan paspor orang lain, meski mereka paham hal itu akan menyulitkan mereka mendapatkan hak asuransi dan perlindungan kerja, tetap dilakukan karena kebutuhan mendesaknya adalah segera terentaskannya mereka dari kemiskinan. [am]

[+/-] terus...

Cindelaras Tumangkar: Mengajak Rakyat Cerdas Finansial

Credit Union Cindelaras Tumangkar (CU-CT) merupakan sebuah lembaga keuangan alternatif yang berdiri di Yogyakarta pada bulan Juni 2006. Keberadaan lembaga ini diawali dari keprihatinan akan banyaknya kelompok simpan-pinjam di Lo-Rejo, sebuah kampung yang terletak di Desa Sumberarum, Kecamatan Moyudan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kelompok-kelompok simpan-pinjam yang sebagian besar diwadahi oleh pertemuan rutin warga ini, ternyata bukannya menyelesaikan kesulitan ekonomi mereka. Banyak warga yang justru terjerat dalam perilaku konsumtif dan akhirnya menjadikan mereka terbiasa dengan perilaku ’’gali lubang tutup lubang.’’

Pada awal berdiri, lembaga keuangan ini hanya beranggotakan 60 orang yang kesemuanya adalah warga Lo-Rejo. Dengan modal awal sebesar 16 juta rupiah yang berasal dari keuntungan penyelenggaraan acara berskala nasional ’’Gerakan Indonesia Baru’’ yang dilangsungkan di kampung tersebut, CU-CT mulai beroperasi.

Menurut Manajer CU-CT, Sudarwanto, awalnya pengelola mengalami kesulitan menyosialisasikan keberadaan lembaga ini karena namanya yang belum akrab di telinga masyarakat kita. Istilah ’kredit’ sering disalahartikan sebagai kegiatan: ’’meminjam dan kemudian mengembalikannya dengan cara mengangsur.’’ Ketidakpahaman masyarakat terhadap istilah tersebut menyebabkan banyak orang datang ke CU-CT dengan maksud meminjam uang. Padahal istilah ’credit’ yang dimaksud di sini berarti ’kepercayaan’.

Seperti halnya koperasi, layanan CU-CT hanya dapat diakses oleh anggota yang telah memenuhi persyaratan dengan menyetorkan uang pangkal, simpanan pokok, simpanan wajib, dan persyaratan administrasi lain yang ditentukan. Setelah melengkapi berbagai persyaratan ini, calon anggota juga diwajibkan mengikuti pendidikan sebanyak dua kali.

Ekonomi Kerakyatan
Pendidikan ini bertujuan untuk membangun pola pikir anggota mengenai pengelolaan keuangan yang berperspektif kerakyatan. Dengan mengikuti dua kali pendidikan diharapkan anggota akan memiliki kesadaran bahwa kemiskinan yang terjadi di negeri kita tidak terjadi begitu saja. Buruknya kondisi kesejahteraan rakyat merupakan akibat dari pengelolaan negara beserta kekayaannya yang lebih berorientasi pasar.

Dengan semangat ekonomi kerakyatan itulah CU-CT bercita-cita menjadikan masyarakat cerdas secara finansial. Itulah mengapa nama credit union yang dipilih dan bukan koperasi, karena credit union memiliki cakupan yang lebih luas dari sekedar koperasi. Selain menerapkan sistem keanggotaan selayaknya koperasi, credit union juga memberi layanan tabungan serupa bank, dan bahkan fungsi asuransi. Dua hal ini yang tidak ada dalam koperasi.

Kelebihannya dibandingkan lembaga-lembaga keuangan lain inilah yang menjadi daya tarik CU-CT. Selama lebih dua tahun berdiri, tercatat ada 1.300 anggota CU-CT dengan dana yang terkumpul sebesar Rp 1,6 miliar. Dana tersebut terkumpul melalui empat macam produk yang ditawarkan CU-CT, yaitu Sikendi (tabungan harian), Siwaris (simpanan hari tua/asuransi), Simpanan Pendidikan, dan Simpanan Ibadah. Sejauh ini Siwaris yang paling banyak diminati dengan total dana yang terkumpul untuk satu produk itu sebesar Rp 700 juta.

Sementara dana yang beredar di anggota saat ini mencapai Rp 2,6 miliar dengan peminjam sebanyak 525 orang. Pinjaman ini sebagian besar digunakan oleh anggota untuk mengembangkan usaha. Sebagai sebuah lembaga keuangan yang bercita-cita mencerdaskan rakyat secara fnansial, CU-CT tidak mensyaratkan agunan kredit dalam bentuk sertipikat atau surat berharga lainnya. Jaminan kredit yang dapat digunakan oleh anggota adalah jumlah tabungan mereka sendiri di CU-CT. Dengan demikian anggota tidak hanya berpikir soal meminjam uang saja, melainkan juga harus berpikir tentang menabung.

Perlu Pendampingan
CU-CT meyakini benar bahwa yang dapat mengubah kondisi seseorang hanyalah orang yang bersangkutan. Namun kondisi riil masyarakat sekarang tidaklah demikian. Banyak orang berpikir bahwa pemerintah harus membantu mereka keluar dari kondisi tidak sejahtera dengan cara memberikan bantuan. Dalam kenyataannya serangkaian program pemerintah dengan nama ’bantuan’ tersebut justru merusak tatanan sosial.

Inilah yang ingin dikikis oleh CU-CT melalui serangkaian aktivitasnya. Tentu bukan hal gampang karena masyarakat terlanjur nyaman dengan kondisi sekarang, dimana berbagai bantuan dapat dengan mudah mereka dapatkan. Hal yang sering kali masyarakat lupakan adalah tidak adanya proyek bantuan yang nyata-nyata mampu mengentaskan mereka dari kemiskinan. Dengan keyakinan inilah CU-CT berjuang mewujudkan sebuah masyarakat yang sejahtera dan mandiri secara ekonomi.

Menyadari bahwa CU-CT bukan sekedar lembaga keuangan, Sudarwanto bertutur bahwa idealnya lembaga seperti ini memiliki divisi pendampingan yang bertugas mendampingi anggota dalam mengelola uang pinjaman sehingga sesuai dengan cita-cita organisasi. Namun karena keterbatasan, hingga saat ini aktivitas itu belum dapat dilakukan.
Sebagai alat ukur perkembangan kesejahteraan dan peningkatan kesadaran anggota, Sudarwanto memiliki indikator sederhana. Dalam hal peningkatan kesejahteraan anggota, sejauh ini yang digunakan sebagai alat ukur adalah meningkatkan jumlah setoran tabungan. Sedangkan sisi peningkatakan kesadaran, dapat dilihat dari meningkatnya anggota yang memilih meminjam uang dan bukan mengambil tabungan, walaupun jumlah tabungan mereka sebenarnya dapat mencukupi kebutuhan.

Dibatasi
Selain menjadi lembaga keuangan dengan berbagai layanan tadi, CU-CT juga mendapat kepercayaan untuk menyalurkan bantuan dari pihak luar kepada komunitas di Lo-Rejo. Sejauh ini yang dilakukan CU-CT adalah dengan mewujudkan dana bantuan tersebut menjadi sapi. Sapi ini pun tidak diberikan begitu saja kepada warga, melainkan “dihutangkan” dan warga harus mengangsur hutang tersebut setiap bulan. Dengan cara ini, dana bantuan yang awalnya hanya cukup untuk membeli 9 ekor sapi, saat ini telah berkembang menjadi 32 ekor.

Hal lain yang juga ditekankan oleh Sudarwanto adalah orientasi lembaga ini, yaitu pada manusianya dan bukan pada terkumpulnya dana. Itulah sebabnya akumulasi jumlah tabungan harian (Sikendhi) dibatasi maksimal 50 juta rupiah per orang. Sedang untuk produk lain, dalam sebulan maksimal hanya dapat menyetor maksimal Rp 2 juta per orang. Hal ini dilakukan agar anggota tidak begitu saja menukar asset yang mereka miliki dengan produk yang ditawarkan CU-CT karena tergiur balas jasanya yang cukup besar. Selain itu agar CU-CT tidak justru dimanfaatkan oleh orang yang memiliki banyak modal untuk mengeruk uang dari orang kecil, melalui jumlah bunga yang harus dibayarkan.[am]

[+/-] terus...

 
© free template by Blogspot tutorial