Senin, 19 Januari 2009

Minyak Tanah Tak Ada, Elpiji pun Langka

Sejak program konversi minyak ke gas sudah sekian kali terjadi krisis bahan bakar. Kompor minyak telanjur diloakkan, sementara gas menjadi langka. Kalau ada yang masih punya kompor, minyak pun sudah tak ada. Minyak tanah tak ada, gas elpiji langka. Duh. Yang namanya rakyat kecil, selagi cari yang mau dimasak saja susahnya bukan main. E, begitu dapat, mau memasaknya harus berhadapan pula dengan kelangkaan bahan bakar. Emang gak perlu susah jika bisa bilang, ’’Makan di restoran saja!’’

Ingar-bingar penyambutan tahun baru mulai terasa di berbagai penjuru kota di Indonesia. Berbagai acara telah disiapkan untuk menutup tahun 2008 dan menyambut kedatangan tahun 2009. Namun, di balik kemeriahan itu, keprihatinan tetap menggelayut di pundak berjuta rakyat Indonesia. Harga kebutuhan pokok yang terus membubung, kelangkaan pupuk, krisis keuangan global, serta mahalnya minyak tanah menjadikan beban hidup rakyat Indonesia semakin bertambah.

Meski program konversi minyak tanah ke gas elpiji belum terlaksana di semua wilayah Indonesia, kelangkaan minyak tanah telah terjadi di mana-mana. Program ini telah dimulai sejak pertengahan 2006 dengan target awal masyarakat pengguna minyak tanah di DKI Jakarta. Setelah hampir dua tahun, pendistribusian kompor gas dan tabung elpiji kepada masyarakat di DKI Jakarta selesai. Maka terhitung sejak bulan Mei 2008, minyak tanah bersubsidi tidak lagi beredar di wilayah DKI Jakarta.

Menyusul DKI Jakarta, penghentian pasokan minyak tanah bersubsidi juga terjadi di kota-kota lain di Pulau Jawa. Sejak bulan Oktober 2008, minyak tanah bersubsidi tidak lagi beredar di wilayah Kota Semarang, Kabupaten Semarang, dan Kota Salatiga. Sedangkan di wilayah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, minyak tanah bersubsidi masih beredar hingga awal November 2008.

Seperti halnya di Jakarta, distribusi kompor dan tabung elpiji di wilayah-wilayah ini juga dianggap telah selesai, sehingga Pertamina menghentikan pasokan minyak tanah bersubsidi untuk kota-kota tersebut. Namun penghentikan pasokan ini, tidak seketika disusul dengan dipasoknya minyak tanah non-subsidi. Akibatnya selama hampir sebulan, terjadi kelangkaan minyak tanah di berbagai kota. Menurut Humas Pertamina Regional Jawa Tengah dan DIY hal ini dilakukan karena anggapan bahwa minyak tanah bersubsidi masih beredar di masyarakat.

Saat ini program konversi minyak tanah ke gas elpiji sedang dan masih akan berjalan di berbagai kota di Indonesia lainnya. Menurut Dirjen Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Evita Legowo, konversi minyak tanah ke elpiji pada tahun 2008 ini mencapai 40 juta tabung. Dengan program konversi ini diharapkan pada tahun 2010 nanti, penggunaan minyak tanah oleh masyarakat berkurang dari 9,8 juta kiloliter pada tahun 2007 menjadi hanya 100 ribu kiloliter.

Harga dan Warna
Menurut salah seorang pegawai agen minyak tanah dan gas elpiji di Kota Yogyakarta, PT Wina Wira Usaha Jaya, selisih harga minyak tanah subsidi dengan non-subsidi cukup tinggi. Jika sebelumnya minyak tanah bersubsidi bisa didapat dengan harga Rp 4.000, kini dengan penghapusan subsidi, harga minyak di tingkat agen menjadi dua kali lipat.

’’Yang sekarang warnanya biru-ungu. Harganya dari sini Rp 8.000,’’ jelasnya mengenai wujud fisik minyak non-subsidi yang berbeda dengan minyak subsidi.

Tingginya harga menjadikan pasaran minyak tanah lesu. Banyak pengecer minyak yang beralih ke elpiji tiga kilogram karena lebih laku. Harun, salah seorang pengecer elpiji di kawasan Yogyakarta barat menuturkan dalam sehari sepuluh hingga lima belas tabung elpiji bisa terjual. Masalahnya persediaan agen terbatas, sehingga kadang ia harus mencari elpiji hingga ke beberapa agen untuk memenuhi permintaan.

Pihak PT Wina sendiri mengakui bahwa tak jarang stok elpiji tiga kilogram tidak tersedia. Terlambatnya distribusi dari kilang ke Pertamina menjadi penyebab kurangnya stok. Bahkan beberapa kali PT Wina terpaksa mendatangnya elpiji dari agen di kota lain.

Menanggapi kelangkaan elpiji ini, Manajer Pemasaran Gas Domestik PT Pertamina Region III Jawa Tengah dan Yogyakarta mengungkapkan buruknya cuaca menjadi penghambat kelancaran distribusi elpiji. Selain itu perbaikan secara berkala pusat pengisian gas domestik turut berpengaruh terhadap tersendatnya distribusi.

Saat ini meski setiap hari tampak aktivitas bongkar muat gas elpiji tiga kilogram, tetapi jumlah permintaan tetap lebih tinggi dari persediaan. Akibatnya kuota pembelian diterapkan. Rata-rata setiap pengecer hanya mendapatkan jatah sepuluh tabung saja.

Arang
Selain elpiji, bahan bakar lain yang juga mengalami peningkatan permintaan adalah arang. Mulyani, salah seorang pedagang arang dari Mloko Sedeng, Pacitan, menuturkan bahwa naiknya harga minyak tanah turut menaikkan harga jual arang dagangannya. Sebelum konversi minyak tanah diterapkan, harga jual arang Rp1000,00/kilogram. Saat ini ia menjual dengan harga Rp1.300/kilogram.

Pedagang yang sudah mulai usahanya sejak tahun 1973 ini secara rutin memasok arang ke beberapa pasar di Surabaya, Madiun, dan Yogyakarta. ’’Ke Surabaya sebulan sekali 246 sak. Ke Madiun seminggu sekali 70 sak. Ke Yogya seminggu tiga kali 70 sak,’’ paparnya. Setiap sak berisi 60 kilogram arang. Arang tersebut merupakan produksi warga yang tinggal di wilayah Mloko Sedeng, Pacitan dan sekitarnya.

Meski permintaan bahan bakar arang meningkat, hingga saat ini Mulyani tidak menambah kapasitas dagangannya. Hal ini disebabkan kemampuan produksi arang di wilayahnya juga tidak mengalami peningkatan. Perkara lainnya, semakin banyak arang diproduksi, ancaman terhadap hutan pun makin tinggi.

Reaksi Pengguna
Beragam reaksi masyarakat terkait dengan konversi minyak tanah dapat ditemui di tingkat penggunanya, terutama para pedagang yang selama ini mengandalkan minyak tanah sebagai bahan bakar. Ny. Padmo seorang penjual makanan di Yogyakarta mengaku kerepotan dengan tingginya harga minyak tanah. Terlebih, ia tidak dapat menaikkan harga jual makanannya karena jika cara itu ditempuh, pelanggan akan beralih pada penjual lain.

Sementara untuk beralih ke bahan bakar lain, ia masih kesulitan. Tabung elpiji serta kompor gas yang didapat dari program konversi minyak tanah terlalu kecil kapasitasnya, tidak sesuai dengan kebutuhan.

Berbeda dengan Ny. Padmo, seorang penjual mie goreng keliling, Ghafur, mampu menyikapi kelangkaan minyak tanah ini dengan kreativitasnya. Seiring dengan program konversi, pemuda Madura ini pun mengganti minyak tanah dengan elpiji sejak beberapa waktu lalu. Dengan regulator khusus, Ghafur dapat menyalakan lampu petromaks dan menyiapkan makanan untuk pembeli tanpa minyak tanah lagi.

Bahkan, menurutnya biaya produksi yang harus dikeluarkan lebih ringan karena satu tabung elpiji seharga Rp14.000 dapat digunakannya selama dua hari. Sedangkan dengan minyak tanah, kebutuhannya per hari tak kurang dari tiga liter.

Saat ini baru sebagian kecil kota di Indonesia, terutama di Pulau Jawa yang telah menyelesaikan pendistribusian kompor gas dan tabung elpiji. Gejolak yang muncul di masyarakat tampaknya akan lebih luas lagi. Bukan saja karena kurangnya kesiapan masyarakat beralih dari minyak tanah ke elpiji, melainkan karena kesiapan pemerintah dan Pertamina dalam memenuhi kebutuhan elpiji belum memadai. Sudah minyak tanah tak ada, elpiji pun langka. [am]

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial