Selasa, 20 Januari 2009

Peran PKK dalam Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan

Oleh: Si Amin

Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan masih sering dianggap sebagai kasus individu yng tidak perlu intervensi pihak lain. Padahal, kenyataannya tidaklah demikian. Banyak perempuan korban kekerasan yang tidak mampu keluar dari persoalannya dan membutuhkn bantuan pihak lain. Namun, keinginan untuk mendpatkan bantuan ini pun kerap menemui jalan buntu, karena selama ini masyarakat memandang bahwa masalah rumah tangga adalah masalah pribadi yang tidak boleh diketahui orang lain.


Sebuah penelitian di pedesaan Purworejo (Jawa Tengah), menemukan bahwa 41% perempuan yang diwawancarai mengaku pernah menjadi korban kekerasan fisik sejak usia 15 tahun. Kemudian satu dari empat perempuan ditemukan mempunyai pengalaman kekerasan fisik atau seksual dari suami dalam suatu waktu di dalam hidupnya (Hakimi, dkk, 2001). Hal ini menyiratkan bahwa perempuan rentan menjadi korban kekerasan, baik ketika mereka belum menikah maupun setelah menikah. Kekerasan yang mungkin terjadi ketika seorang perempuan belum menikah alah kekerasan oleh pacar, perkosan, pelecehan seksual, atau kekerasan dalam keluarga. Setelah masuk ke jenjang pernikahan, ternyata perempuan juga rentan menjadi korban kekerasan oleh suami. Dengan masih banyaknya anggota masyarakat yang meyakini bahwa masalah kekerasan terhaap perempuan adalah masalah pribadi, dapat diasumsikan bahwa data tersebut hanyalah sebagian kecil dari kasus yang terjadi di masyarakat.

Penanganan perempuan korban kekerasan menjadi hal yang mendesak dilakukan, karena ternyata berdampak serius bagi korban, baik fisik, emosional, ekonomi, maupun seksual. Bahkan dalam kasus kekerasan terhadap isteri, sering bukan hanya isteri yang menjadi koban, melainkan juga anak-anaknya (efek karambol). Selain secara fisik maupun emosional anak turut menjadi korban dari kasus kekerasan terhadap isteri, hal lain yang perlu mendapat perhatian serius adalah role model (peniruan perilaku kekerasan yang dilakukan ayah terhadap ibu oleh anak). Sehingga sangat mungkin ketika dewasa, si anak yang dibesarkan dalam lingkungan kekerasan akan menjadi pelaku kekerasan pula.

Lalu, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap tindak-tindak kekerasan terhadap perempuan tersebut? Mengacu pada deklarasi komitmen negara dan masyarakat untuk penghapusan kekerasn terhadap perempuan yang diluncurkan tanggal 24 November 1999 --yang kemudian menelorkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RAN-PKTP)-- jelas tanggung jawab itu ada di pundak pemerintah maupun masyarakat. Negara sebagai sebuah institusi wajib melindungi rakyatnya dari segala tindak ketidakadilan dan mengupayakan terciptanya keadilan tersebut dengan segala cara. Sementara masyarakat sebagai bagian dari institusi juga berkewajiban menjaga keadilan serta mewujudkannya bagi semua pihak. Lalu, organisasi masyarakat, sebagai bagian dari masyarakat tentu tak luput dari kewajiban tersebut.

Berkaitan dengan hal itu, PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) tampaknya mempunyai peran strategis, terutama dalam penanganan perempuan korban kekerasan. Seperti telah disinggung tadi, banyak tindak kekerasan terhadap perempuan yang tidak terungkap karena berbagai sebab. PKK sebagai sebuah organisasi yang sangat luas keanggotaannya dengan mayoritas anggota perempuan, mesti memiliki peran penting dalam upaya penanganan masalah kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan terhadap isteri. Keanggotaan PKK hingga ke masyarakat dalam kelompok kecil (dasa wisma) memungkinkan mereka untuk mengidentifikasi korban-korban kekerasan yang sebenarnya membutuhkan intervensi pihak lain.

Persoalan yang kemudian muncul adalah, sering ditemui perempuan korban kekerasan, namun si korban sendiri tidak mengakui kekerasan yang dialami, sehingga tidak ada alasan bagi pihak luar untuk melakukan intvensi. Dalam hal ini, sosialisasi isu memang menjadi ujung tombak bagi terungkapnya kasus-kasus kekersan yang terjadi di masyarkat. Upaya memahamkan masyarakat bahwa kekerasan merupkan pelanggaran HAM dan bukan masalah pribadi perlu dilakukan secara terus-menerus, sehingga pada akhirnya menggantikan budaya diam yang selama ini dianut oleh masyarakat.

Merujuk pada salah satu pengertian bahwa PKK adalah mitra kerja pemerintah dan organisasi kemasyarakatan yang salah satunya berfungsi sebagai fasilitator (TP PKK Pusat, 2001) kiranya mereka tidak akan menutup kerja sama dengan siapa pun. Dan LSM-LSM perempuan yang mempunyai personal-personal muda dengan mobilitas tinggi dan wawasan serta pengetahuan luas, sudah saatnya melirik PKK sebagai mitra. Memang pada masa lalu ada kesan bahwa LSM perempuan dan PKK berseberangan. Aktivitas PKK cenderung mengukuhkan posisi perempuan yang tersubordinasi oleh laki-laki, sedangkan LSM perempuan berjuang merombak budaya tersebut. Namun, dengan dicantumkannya kata “kesetaraan dan keadilan gender” dalam visi PKK, tak ada lagi alasan bagi LSM perempuan untuk tidak mau bekerjasama dengan mereka.

Tinggallah sekarang satu persoalan lagi yang muncul. Keterlibatan aktif PKK dalam upaya penanganan kekerasan terhadap perempuan mau tidak mau menambah beban kerja mereka. Kalau selama ini kita ketahui bahwa PKK menjadi tenaga sukarela bagi banyak program pemerintah, akankah beban itu masih akan ditambah pula? Inilah yang perlu dipikirkan. Tampaknya, baik pemerintah maupun Tim Penggerak PKK sendiri perlu melihat kembali, akan tetap menjadi relawankah para aktivis PKK ini, atau menjadi professional yang mendapat imbalan finansial berdasar keahliannya? Barangkali terobosan yang dilakukan beberapa tim penggerak PKK yang mencari sumber dana ke lembaga-lembaga dana dapat juga dilakukan oleh tim penggerak PKK lainnya. Dengan demikian mereka tidak terlalu menggantungkan dana lagi dari pemerintah yang, misalnya, sering tidak mengalokasikan uang transport secara memadai bagi para pelaksana program PKK.[]

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial