Senin, 19 Januari 2009

Ke Saudi ketika Tak Ada Pilihan Lagi

Kawasan pegunungan kapur selalu memunculkan imaji yang sama pada setiap orang: tandus dan miskin. Keterbatasan air menjadikan pertanian di kawasan ini tak terlalu menjanjikan. Sementara sektor di luar pertanian, juga kurang berkembang. Gambaran serupa dapat kita jumpai di Desa Plosorejo. Sebuah desa berpenduduk kurang lebih dua ribu jiwa, yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah.

Keterbatasan air, baik air bersih maupun air untuk pertanian, merupakan masalah terbesar di desa ini. Setiap memasuki musim kemarau, warga desa harus bersusah-payah mencukupi kebutuhan air dari sumur yang cukup jauh letaknya. Bahkan pada puncak kemarau, tinggal sebuah sumur saja di desa tersebut yang masih mengeluarkan air. Sehingga seluruh warga desa harus mengantri untuk mendapatkan air dari satu sumur ini. Tak heran jika pada puncak kemarau, pekarangan dimana sumur ini berada tak pernah sepi. Selama 24 jam, secara bergiliran air sumur terus ditimba untuk mencukupi kebutuhan warga.

Dalam hal pertanian, warga Plosorejo sepenuhnya mengandalkan turunnya hujan. Tak ada saluran irigasi di sini. Kondisi tersebut menjadikan petani hanya dapat menanam padi dua kali dalam setahun. Belakangan, akibat pergeseran musim yang tidak menentu, para petani hanya dapat bertanam padi sekali dalam setahun. Hanya sebagian petani saja, terutama yang memiliki lahan di tepi sungai, yang masih dapat menaman padi dua kali dalam setahun.

Selepas bertanam padi, para petani di sini biasanya memilih untuk bertanam jagung. Beberapa petani muda mulai keluar dari kebiasaan itu dengan mencoba menanam semangka, cabai, terong, dan wijen. Namun, keterbatasan air lagi-lagi menjadi kendala. Jika petani yang memiliki cukup modal dapat mendatangkan pasokan air dari daerah lain, petani dengan modal pas-pasan, memilih menelantarkan lahannya hingga turunnya hujan.

Sulitnya kehidupan serta rendahnya kesejahteraan, menjadikan banyak warga Plosorejo memilih mengadu peruntungan jauh di luar desanya. Pada awal tahun 1980-an, beberapa pemuda memulai tradisi baru, mencari penghidupan di tempat lain. Saat itu kawasan perkebunan di Kalimantan menjadi tujuan.
Belakangan, menjelang tahun 1990-an, semakin banyak pemuda yang mencari hidup di kota, sebagai buruh pabrik maupun buruh bangunan. Surabaya dan Jakarta menjadi tujuan utama mereka. Sementara remaja perempuannya, dengan pendidikan yang relatif rendah, banyak yang menjadi pekerja rumah tangga di kota tujuan yang sama.

Arab
Gelombang pekerja migran baru dimulai pada tahun 1990 di desa ini. Arab Saudi merupakan negara tujuan yang banyak dipilih oleh warga Plosorejo. Alasannya, dengan menjadi pekerja migran di sana mereka dapat sekaligus menunaikan ibadah haji.

Bagi Jumilah, warga Plosorejo yang pernah menjadi buruh migran di Arab Saudi, hal itu menjadi kebanggaan tersendiri. Ia menceritakan bahwa selama dua tahun di Arab Saudi, telah dua kali menunaikan ibadah haji. Demikian ia bercerita sambil menunjuk dua lembar sertifikat haji berpigura rapi, terpampang di dinding ruang tamunya.

Sekitar tahun 2000-an, jumlah warga Plosorejo yang mengadu nasib ke luar negeri semakin meningkat seiring gencarnya aktivitas sponsor PJTKI di desa ini. Saat ini tak kurang dari 60 warga Plosorejo menjadi buruh migran. Sebagian besar di antaranya perempuan dan menjadikan Arab Saudi sebagai tujuan.

Belakangan negara-negara di kawasan Asia Timur, seperti Korea dan Taiwan juga mulai dilirik. Setidaknya ada sepuluh warga yang saat ini menjadi buruh migran di sana.

Mengenai kondisi warga yang pernah menjadi buruh di luar negeri, Shodiq, kepala desa Desa Plosorejo memiliki pendapat tersendiri. Menurutnya, semua pekerja migran Plosorejo berhasil. Artinya, semua mendapatkan bayaran dari hasil kerjanya.

Lebih jauh ia berkomentar, bahwa ukuran keberhasilan tidak harus dilihat dalam bentuk pendirian usaha. Kemampuan untuk membeli sawah, motor, rumah, maupun sapi merupakan wujud keberhasilan juga.

Pandangan kepala desa tersebut, tentu sedikit banyak akan berpengaruh terhadap warganya. Dengan ukuran keberhasilan adalah mendapat bayaran, tampaknya semua buruh migran di desa ini akan dicatat sebagai buruh yang berhasil. Tak peduli bayaran yang mereka terima sepadan atau tidak dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Atau apakah para pekerja tersebut menjadi sasaran pungutan agen atau tidak, tampaknya bagi desa tak penting benar.[am]

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial