Tewasnya 14 orang warga Kampung Nyalindung, Desa Girimurti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat akibat tanah longsor, mengawali berita tentang bencana alam yang menelan korban jiwa pada awal musim penghujan kali ini (2008). Selain tanah longsor, bencana banjir juga mulai melanda beberapa kawasan di Indonesia, tak terkecuali Jakarta.
Datangnya musim penghujan di Indonesia dapat dipastikan selalu disertai dengan datangnya bencana alam seperti tanah longsor, banjir, dan angin puting beliung yang memang berkaitan langsung curah hujan. Menurut data Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari total 33 provinsi di Indonesia 27 diantaranya rawan bencana. Banjir dan tanah longsor sepanjang musim penghujan lalu (tahun 2008) yang terjadi di 27 provinsi tercatat menelan korban meninggal 92 orang, 9.740 rumah rusak dan 184.203 rumah terendam banjir.
Hingga pertengahan November 2008 ini banjir tercatat sudah melanda kawasan di wilayah Tulungagung, Nanggroe Aceh Darussalam, Lumajang, juga kota-kota di pantai utara Pulau Jawa seperti Semarang, Pati, dan tentu saja Jakarta.
Meskipun menjadi penyebab bencana banjir di beberapa kota, namun intensitas hujan di wilayah Indonesia belum merata. Dari data yang dikeluarkan oleh BMKG, hujan akan merata terjadi di Sumatera Selatan, seluruh wilayah Pulau Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara Barat pada bulan Desember 2008. Sedangkan musim penghujan akan mencapai puncaknya di Pulau Jawa pada bulan Januari-Februari 2009.
Belum meratanya intensitas hujan ini dapat dilihat dari masih rendahnya curah hujan di beberapa wilayah, seperti di Blora (Jawa Tengah), Gunungkidul (Daerah Istimewa Yogyakarta), maupun kawasan lereng Gunung Kelud (Kediri, Jawa Timur). Hingga pertengahan bulan Oktober 2008, warga lereng Gunung Kelud, khususnya Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri masih kesulitan mendapatkan air bersih. Sumber air utama di kaki Gunung Kelud yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) daerah itu tidak mencukupi kebutuhan warga di empat desa dalam wilayah kecamatan Ngancar. Akibatnya, meskipun telah berlangganan air dari PDAM, sebagian warga tetap harus mengambil air dari sumber yang terletak di luar desa.
Menurut Ahmad Abdul Hadi Rasyid, tokoh masyarakat Desa Sempu, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, sebelum tahun 2000 warga dapat dengan cukup mudah mendapatkan air bersih. Sumber air bersih dapat ditemui hampir di setiap pedukuhan atau satuan pemukiman di desa tersebut.
Namun seperti halnya yang terjadi di tempat-tempat lain, bergulirnya reformasi tahun 1998 justru menyebabkan kualitas lingkungan di kawasan Kelud mulai menurun. Hal ini disebabkan laju penggundulan hutan mengalami peningkatan, sehingga mengancam sumber air bersih di kaki gunung. Penggundulan hutan di kawasan tersebut mencapai puncaknya pada tahun 2003. Bahkan pada tahun 2004 gundulnya hutan ini pernah menyebabkan banjir yang mendatangkan kerugian cukup besar bagi desa-desa yang terletak di bawah Desa Sempu, seperti Desa Pandantoyo.
Bukan saja banjir yang menjadi ancaman bagi masyarakat di lereng Gunung Kelud ini. Penambangan batu di areal bekas penebangan liar memunculkan ancaman baru, yaitu tanah longsor. Meski dalam skala kecil, tanah longsor di kawasan ini pernah juga terjadi dan menyebabkan putusnya aliran air bersih dari PDAM akibat pipa saluran air bersih terputus akibat tertimbun longsoran.
Saat ini laju penggundulan hutan dapat dikatakan sudah sangat menurun, tetapi areal bekas penebangan liar seluas kurang lebih 300 hektare di wilayah Desa Sempu dan Sugihwaras ini masih dibiarkan gundul. Berkurangnya jumlah tegakan secara signifikan ini berdampak cukup besar bagi pasokan air bersih bagi warga yang tinggal di desa-desa di kaki Kelud. Selain mematikan banyak sumber air, penggundulan hutan tersebut juga menyebabkan menurunnya kualitas air bersih yang dialirkan PDAM ke rumah-rumah warga. Bukan saja tidak mencukupi, saat ini warga terpaksa harus menerima pasokan air PDAM yang keruh karena tercampur pasir. Hal ini disebabkan sumber air yang dijadikan andalan oleh PDAM mengalami pendangkalan dan penurunan debit.
Kecenderungan semacam ini tidak hanya terjadi di kawasan Gunung Kelud Kediri saja. Kawasan lain, terutama yang terletak tepat di bawah daerah tangkapan air atau justru merupakan daerah resapan air, juga mengalami masalah serupa. Meski tidak ada data pasti mengenai sumber-sumber air yang mati akibat penebangan, baik penebangan tanaman keras milik warga, penebangan terprogram di hutan produksi, maupun penebangan liar di kawasan konservasi, namun kasus di atas dengan mudah dapat ditemui.
Kawasan lereng Gunung Merapi, baik yang merupakan wilayah Kabupaten Sleman (DI Yogyakarta), Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Magelang (ketiganya di wilayah Jawa Tengah) tidak luput dari ancaman kematian sumber air bersih. Kawasan pegunungan di Kabupaten Trenggalek juga Kota Batu (keduanya di Jawa Timur) juga mengalami hal serupa. Sayangnya meski berkurangnya jumlah sumber air tersebut sudah cukup mempengaruhi kehidupan warga sekitar, namun hingga saat ini belum ada pendataan secara khusus mengenai hal tersebut.
Walau demikian data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyumas (Jawa Tengah) yang menyebutkan bahwa dari 3.000 sumber air yang ada pada tahun 2001 dan tahun ini tinggal sekitar 900 sumber air di daerah tersebut, cukuplah menjadi gambaran. Data ini menunjukkan bahwa sejak tahun 2001, rata-rata 300 sumber air mati setiap tahunnya. Kondisi ini jelas sangat mengkhawatirkan. Tanpa adanya upaya terencana dari pihak pemerintah dan keikutsertaan masyarakat upaya perbaikan tidak dapat dilakukan.
Seperti halnya yang terjadi di wilayah Kediri maupun Trenggalek, tekanan kebutuhan hidup dan pertambahan penduduk menjadikan upaya pengembalian fungsi hutan sebagai daerah konservasi dan bukan sebagai hutan produksi, menjadi sulit dilakukan. Hal ini jugalah yang terjadi di lereng Gunung Kelud. Hutan yang telah gundul akibat penebangan seluas 300 hektare, ke depannya tidak akan lagi dikembalikan fungsinya menjadi kawasan konservasi. Perhutani bekerja sama dengan organisasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) akan memanfaatkan lahan tersebut sebagai hutan produksi.
Program kerja sama tersebut memang berdampak signifikan terhadap peningkatan kondisi ekonomi masyarakat anggota LMDH, dimana anggota memiliki hak guna atas tanah yang berada dalam wilayah Perhutani. Dengan demikian warga tidak saja memiliki tanggung jawab untuk merawat tanaman milik Perhutani, namun juga mendapatkan bagi hasil dari penjualan tanaman dan pemanfaatan lahan secara tumpang sari.
Akan tetapi, perubahan kawasan konservasi menjadi kawasan produksi tentu menimbulkan konsekuensi tersendiri. Dalam kasus lereng Kelud, tanaman produksi berupa sengon akan dipanen setelah mencapai umur delapan tahun. Itu artinya setiap delapan tahun sekali masyarakat di sana akan kembali menghadapi ancaman banjir, tanah longsor, maupun kematian sumber air. Terlebih terdapat jarak antara masa tebang dan masa tanam yang cukup panjang.
Masalah tidak berhenti sampai di situ saja. Meski saat ini peningkatan kesadaran orang akan dampak penggundulan hutan mulai terbaca, namun sulitnya kondisi ekonomi sering kali memaksa orang melakukan sesuatu yang berkebalikan dengan kesadarannya. Langkanya minyak tanah serta tingginya harga komoditas tersebut di pasaran, menjadikan hutan kembali terancam. Bukan saja menjadi bahan bangunan, melainkan juga pemenuhan kebutuhan bahan bakar.[am]
Senin, 19 Januari 2009
Memasuki Musim Bencana: Lingkungan Rusak, Alam pun Murka
Label:
lingkungan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar