Senin, 19 Januari 2009

Pendidikan Seksual bagi Calon Buruh Migran

Secara umum, Daerah Istimewa Jogjakarta bukan merupakan daerah kantong buruh migran. Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa sejumlah warga daerah ini terpaksa mengadu nasib ke negeri orang karena di negerinya sendiri tak terdapat banyak pilihan. Kabupaten Kulon Progo merupakan wilayah di DI Yogyakarta dengan jumlah migran terbesar. Data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kulonprogo menunjukkan jumlah buruh migran dari daerah tersebut pada tahun 2005 sebanyak 1.590 orang.

Sangat mungkin jumlah yang sebenarnya lebih besar dari itu karena pendataan hanya dilakukan terhadap tenaga kerja yang terdaftar pada Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di wilayah Kulon Progo. Menurut Swasti Sempulur, Koordinator Program Buruh Migran Yayasan Kembang Yogyakarta, banyak calon tenaga kerja dari Kulon Progo yang memanfaatkan jasa PJTKI di daerah lain, terutama kantong-kantong buruh migran, karena di daerah tersebut tersedia lebih banyak pilihan.

Seperti halnya di daerah lain, sebagian besar buruh migran dari kabupaten ini berasal dari daerah tandus yang miskin. Tercatat ada empat kecamatan yang merupakan daerah asal para buruh migran ini, yaitu Kokap, Samigaluh (keduanya di kawasan Perbukitan Menoreh), Galur, dan Panjatan (keduanya merupakan wilayah Pesisir Selatan).

Memilih Malaysia
Sebagian besar buruh migran yang berasal dari Kulon Progo ini menjadikan Malaysia sebagai negara tujuan mereka. Setidaknya ada dua alasan mengapa mereka memilih Malaysia sebagai negara tujuan. Pertama, karena secara budaya tidak terlalu jauh berbeda dengan Indonesia, dan kedua karena dekat sehingga modal yang harus mereka keluarkan tidaklah besar.

Dari kajian yang dilakukan oleh Swasti dan teman-temannya dari Yayasan Kembang, ditemukan bahwa calon buruh migran baik laki-laki atau perempuan di Kulon Progo secara umum tidak memiliki pengetahuan tentang proses migrasi dan situasi kerja di luar negeri secara memadai. Atas kondisi demikian, Yayasan Kembang pun mengadakan pelatihan yang dimaksudkan sebagai pembekalan bagi calon buruh migran sebelum mereka sampai di negara tujuan.

Kesehatan Reproduksi
Temuan lain adalah kenyataan bahwa sebagian besar calon buruh migran berada dalam usia reproduktif secara seksual. Hal ini mendapat perhatian khusus dari Yayasan Kembang karena perilaku permisif di negara tujuan dapat memicu berbagai kasus yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Oleh karena itu selain memberikan pembekalan tentang proses keimigrasian dan situasi kerja di negara tujuan, calon buruh migran juga diberi pendidikan mengenai kesehatan reproduksi. Terlebih sebagian dari buruh migran tercatat berada dalam kondisi seksual aktif (telah menikah).

Dengan pembekalan semcam ini diharapkan nantinya para buruh migran tersebut paham akan resiko dari perilaku seksual mereka. Misalnya bagi yang berada dalam masa seksual aktif, akan paham bahwa ketika di negara tujuan melakukan hubungan seksual tanpa pertimbangan keamanan, sangat mungkin akan tertular penyakit sekusual. Demikian juga bagi buruh migran yang berada dalam usia reproduktif secara seksual, akan lebih tahu bagaimana mengelola hasrat seksual serta cara-cara penyalurannya secara aman.

Ternyata dalam perkembangannya, Yayasan Kembang menemukan bahwa pendidikan serupa tidak hanya dibutuhkan oleh para calon buruh migran. Keluarga yang ditinggalkan pun dirasa perlu mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi serupa. Sebab suami/isteri yang ditinggalkan secara umum memiliki kebutuhan seksual yang sama dengan pasangan yang meninggalkannya. Dengan demikian tanpa adanya pendidikan kesehatan yang memadai bagi keduanya, kemungkinan tertular penyakit seksual tetap ada.

Contoh Kasus
Swasti menceritakan pernah ada sebuah kasus cukup menarik yang berkaitan dengan kondisi kesehatan pasangan yang salah satu di antaranya pernah menjadi buruh migran ini. Hasil tes kesehatan mereka menyatakan bahwa keduanya terinfeksi penyakit menular seksual. Keributan terjadi karena mereka saling saling menuduh pasangannya sebagai pihak awalnya tertular penyakit tersebut akibat hubungan seksual dengan orang lain. Suami yang bertahan di kampung menuduh isterinyalah yang mendapatkan penyakit itu ketika masih menjadi buruh migran dan kemudian menularkan kepadanya. Sebaliknya si isteri menuduh suaminyalah yang mendapatkan panyakit tersebut dari hubungan seksual dengan orang lain ketika ia berada di luar negri.

Selain persoalan kesehatan reproduksi seperti, pengelolaan keuangan para buruh migran maupun keluarga yang ditinggalkan juga mendapat fokus tersendiri. Tak jarang seorang buruh migran pulang tanpa tahu apa yang akan dilakukan dengan uang hasil kerjanya. Akhirnya uang ini habis untuk konsumsi dan hal itu mendorongnya kembali lagi menjadi buruh migran.

Awalnya Yayasan Kembang memberikan pelatihan tentang pengelolaan keuangan ini pada buruh migran yang baru kembali dari luar negeri. Namun, mereka kemudian menemukan bahwa cara yang lebih efektif adalah dengan memberikan materi pendidikan tersebut kepada calon buruh migran. Dengan demikian, mereka dapat merencanakan pemanfaatan uang sebelum kembali ke tanah air, dan ketika kembali sudah ada rencana yang pasti. Harapannya, uang hasil kerja para buruh migran tersebut benar-benar menjadi modal bagi perbaikan kondisi kehidupan mereka di kampung asalnya.

Keterdesakan
Meski serangkaian pendidikan telah dilakukan, dalam kenyataannya Yayasan Kembang tidak menemukan perubahan perilaku baik pada calon maupun mantan buruh migran secara signifikan. Banyak di antara mereka yang tetap saja melakukan pemalsuan identitas seperti mengubah tahun lahir untuk memenuhi persyaratan pemberangkatan. Tidak jarang juga para buruh migran ini berangkat dengan identitas palsu karena menggunakan paspor orang lain. Pemalsuan identitas semacam ini terjadi karena pihak PJTKI biasanya tidak mengembalikan paspor calon buruh migran yang gagal berangkat. Paspor yang tidak terpakai ini kemudian dijadikan sebagai identitas baru bagi calon buruh yang siap berangkat.

Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa faktor keterdesakan ekonomi memang menjadikan buruh migran tersebut tidak memiliki pilihan lain. Dalam kasus penggunaan paspor orang lain, meski mereka paham hal itu akan menyulitkan mereka mendapatkan hak asuransi dan perlindungan kerja, tetap dilakukan karena kebutuhan mendesaknya adalah segera terentaskannya mereka dari kemiskinan. [am]

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial